Setiap orang pasti sepakat kalu seorang guru harus menjadi teladan bagi
siswa dan masyarakat. Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun,
apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru
juga harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga
semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.
Secara implist, bisa disimpulkan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru
sejati adalah meraka yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan
dan semangat revolusioner mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal adalah
mereka yang berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi
presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa di sekolah.
era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya,
guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh
dari tugasnya sebagai guru di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya
kebijakan sertifikasi semakin menjadikan guru salah niat dalam mengajar.
Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan guru lebih kreatif, inivatif,
dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar
mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.
Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya guru
aspal. Karena apa artinya rupiah, jika guru tidak biasa menjalankan tugas
sucinya. Maka sebagai insan pendidikan, hal itu harus disikapi guru dengan
arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru aspal dengan beberapa
solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada beberapa cara, antara lain:
Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun
negeri, PNS atau GTT. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang
masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya
kenalan pihak sekolah/dinas, asalkan punya uang ratusan juta rupiah, maka akses
masuk jadi guru juga mudah.
Kedua, mempertegas aturan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini,
penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa
setidaknya seorang guru harus memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan
Pendidikan Agama Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula.
Masih sering kita jumpai fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai dengan
bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia mengajar materi bahasa
Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, dan sebagainya.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan
kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru yang
pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang mampu
memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang disebut dengan “kemampuan
puls-plus”yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru killer yang
ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai
Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatalkepada
sisiwinya, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan
sampai guru aspal merusak pendidikan di negara ini.
Guru Revolusioner
Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu
tidak, yang tak kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar
penuh dengan motivasi tinggi dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia.
Menurut Dian Marta Wijayanti, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.
Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap
butuh kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru
bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih
banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari
harapan.
Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin
siswa akan bersikp disiplin kalau gurunya tidak.
Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar
semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi
manusia berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal.
Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa”
(to be), tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).
Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan
kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner,
bukan aspal.
Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana
menurut Anda?
Keterangan:
Tulisan ini terinspirasi dari Artikel berjudul “Guru Revolusioner”,
karya Dian Marta Wijayanti (Suara Merdeka edisi 19/10/2013)
Sumber : http://nadhirin.blogspot.com/2013/10/guru-sejati-dan-revolusioner.html